the very first STEP

Dalam beberapa tahun ini saya mengamati apa yang terjadi di dalam umat Islam di sekitar saya. Kenapa mereka begitu antusias, bangga, membela mati-matian terhadap bid’ah yang mereka lakukan. Belajar tentang bid’ah ternyata tidak cukup hanya dengan mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Itu tidak cukup, sangat tidak cukup. Yang lebih kita butuhkan adalah Allah membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui kesempurnaan Islam, keburukan bid’ah. Betapa banyak orang yang getol belajar tentang agama, namun ketika ia membeli buku, ia justru menambah keburukan agamanya karena membeli buku yang mengajarkan bid’ah untuk diamalkan. Ketika ia belajar dari seorang ustadz, ustadz itu bukan menyembuhkan penyakitnya tetapi malah menambah dengan bid’ah yang lain.

Sungguh Maha Suci Allah, Ia memberi hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa yang dikehendaki.

Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk belajar tentang bid’ah, mari memohon kepada Allah agar Ia membuka hati dan pikiran kita untuk menerima kebenaran. Bukalah hati anda untuk menerima dan berserah diri kepada Allah dan menerima segala syariat-Nya, menerima ajaran Nabi-Nya. Yakinilah bahwa seseorang (siapapun dia, kyai/ustadz) diterima dan ditolak perkataannya selain Rasulullah.

Minggu, 20 Maret 2011

Siapa saja tuhan kita?

Sungguh umat Islam saat ini benar-benar jauh dari agamanya, sehingga jangankan cara beribadah yang benar, aqidah yang menjadi pondasi keislaman saja, banyak yang salah kaprah. Betapa banyak manusia yang mengaku beragama Islam, tetapi bangga dalam melaksanakan syariat yang bukan dari agamanya, bahkan mereka benci kepada syariat agamanya sendiri dengan mengatakan bahwa saya bukan orang Arab. Kenapa mereka tidak mengaku saja sekalian bahwa mereka adalah orang kafir yang tidak mau diatur dengan syariat Allah?
Betapa banyak orang yang bangga memakai simbol-simbol keislaman tapi malu mengamalkan ajaran Islam. Betapa banyak orang yang begitu cinta kepada kyainya melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga ketika apa yang disampaikan oleh sang kyai bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah, mereka dengan bangga mengatakan bahwa kyai (Ulama) adalah pewaris para nabi, sehingga mereka beranggapan mengikuti kyai sama seperti mengikuti nabi, mereka tidak pernah salah, mereka selalu benar. Sehingga apapun yang syariat yang dibawa oleh para kyai tersebut mereka terima dengan antusias, dengan penuh keyakinan mereka laksanakan dengan harapan tinggi bahwa amalan mereka akan diterima Allah.

Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid'ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur'an dalam firman Allah SWT, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (at-Taubah: 31)
Al-Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, "(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu." Rasulullah saw. menjawab, "Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu."
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja; shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, "Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu." Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah milik Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.... "(asy-Syuura: 21)

Betapa malangnya orang yang beranggapan telah melakukan yang sebaik-baiknya dalam beragama tetapi sesungguhnya mereka memiliki tuhan-tuhan yang lain selain Allah, karena mereka menerima, mengikuti, melaksanakan syariat buatan manusia (kyai sekalipun) padahal bertentangan dengan syariat Allah.
Alangkah bijaknya jika kita belajar dari para ulama (maksud saya "yang benar-benar ulama") dalam memahami bagaimana sikap kita terhadap fatwa mereka tentang suatu permasalahan, bagaimana mensikapi fatwa ulama ketika berhadapan dengan sunnah Rasulullah. Di sini saya kutipkan pernyataan para imam madzhab yang empat yang saya kira cukup untuk mewakili sikap para ulama tentang masalah yang kita bahas ini:

1. IMAM ABU HANIFAH
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang pada Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ucapan beliau:
A. "Artinya : Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku".
B. "Artinya : Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya".
C. Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan : "Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberikan fatwa". Pada riwayat lain ditambahkan : "Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami mencabutnya". Pada riwayat lain lagi dikatakan : "Wahai Ya'qub (Abu Yusuf), celakalah kamu! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya".
D. "Artinya : Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu".

2. IMAM MALIK
Imam Malik bin Anas menyatakan :
A. "Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, ambillah ; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, tinggalkanlah".
B. "Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri".

3. IMAM ASY-SYAFI'I
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi'i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus dan pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung. Beliau berpesan antara lain:
A. "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku"
B. "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang"
C. "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu"
D. "Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku"
E. "Kalian lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya"
F. "Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati"
G. "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna"
H. "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku"
I. "Setiap Hadits yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku"

4. IMAM AHMAD
Ahmad bin Hanbal merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun Hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat masalah furu' dan ra'yu. Beliau menyatakan sebagai berikut :
A. "Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi'i, Auza'i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil. Pada riwayat lain disebutkan : "Janganlah kamu taqlid kepada siapapun mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi'in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima)" Kali lain dia berkata : "Yang dinamakan ittiba' yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi'in boleh dipilih".
B. "Pendapat Auza'i, Malik dan Abu Hanifah adalah ra'yu (pikiran). Bagi saya semua ra'yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (Hadits)"
C. "Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran"

Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada Hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Pernyataan mereka itu sudah jelas tidak bisa dibantah dan diputarbalikkan lagi. Mereka mewajibkan berpegang pada semua hadits yang shahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya bila seseorang meninggalkan Hadits-hadits yang shahih karena dipandang menyalahi pendapat mereka. Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan menyalahi pendapat-pendapat mereka yang telah dikemukakan di atas. Allah berfirman:
"Artinya : Demi Tuhanmu, mereka itu tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati". [An-Nisa' : 65]
Allah juga berfirman:
"Artinya : Orang-orang yang menyalahi perintahnya, hendaklah takut fitnah akan menerima mereka atau azab yang pedih akan menimpa mereka". [An-Nur : 63]

Imam Hafizh Ibnu Rajab berkata :
"Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh mana pun yang menyalahi perintahnya, yang terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena itulah, para sahabat dan para tabi'in selalu menolak pendapat yang menyalahi Hadits yang shahih dengan penolakan yang keras yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh di atas mahluk lainnya. Bila perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah beliau lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari Allah.Bahkan orang yang mendapat ampunan dari Allah, yang pendapatnya menyalahi perintah Rasuluallah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa ketentuan Rasulullah berlawanan dengan pendapatnya.

Dengan demikian terungkapkanlah buruknya sikap taqlid kepada para kyai, karena kebenaran mutlak hanyalah dari Allah dan Rasul-Nya. Kepada Allah dan Rasul-Nya kita harus tunduk patuh tanpa reserve, bukan kepada kyai. Jangan sampai kita begitu bangga dengan status keislaman kita, tetapi pada saat yang sama kita menjadikan para kyai sebagai tuhan selain Allah, menerima syariat buatan mereka tanpa sikap selektif, tanpa bertanya, tanpa meneliti dalil yang dipakai. Semoga Allah menunjuki kita jalan yang lurus, menjadikan kita umat yang berjalan di atas rel yang benar, ilmu yang benar, amal yang benar, yang berdasar kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. amin.
Allahu a’lam.

Maroji’:
Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Sunnah dan Bid’ah. Dr. Yusuf Qardhawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar