Peristiwa yang belum lama ini terjadi sungguh sangat kita sayangkan. Pengiriman bom kepada Ulil Abshar Abdala yang hanya berbentuk bom buku, itupun dibuka oleh orang lain yaitu polisi yang sok berani (yang akhirnya mereka mengerang kesakitan). Terlepas dari siapa yang mengirim, apakah benar orang yang benci (mereka menyebutnya teroris) atau orang mereka sendiri yang ingin cari perhatian dan sok merasa teraniaya, kita turut prihatin, sungguh sangat kita sayangkan. Ya, di tengah gencarnya kampanye sekulerisme, pluralisme, liberalisme yang dilakukan oleh para pengikut Islam liberal, sangat kita sayangkan kenapa hanya bom buku yang dikirimkan ke Utan Kayu, kenapa bukan bom mobil atau truk? Kenapa hanya Ulil, kenapa tidak sekalian Masdar F Masudi, Zuhairi Misrawi, Musdah Mulia, dan antek-antek mereka (la’natullahi alaihim) yang ingin mencabut aqidah umat dan menggantinya dengan kebebasan tanpa batas?
Mereka dengan lancang berani mengutak-atik pemahaman umat tentang Islam, tentang Al-Qur’an, dengan memberikan penafsiran yang jauh dari nilai kebenaran. Seandainya mereka memiliki pemahaman yang nyleneh itu dipakai sendiri dan akan dikubur bersama bangkai mereka, itu tidaklah mengapa. Tetapi mereka dengan gigih dan terorganisir ingin menyebarluaskan pemahaman mereka dengan segala sarana yang mereka miliki, tentu saja dengan dukungan finansial yang melimpah yang entah darimana datangnya.
Mereka sama berbahayanya dengan ahmadiyah, bahkan mungkin mereka lebih berbahaya, kalau ahmadiyah melakukan kampanye dengan sembunyi-sembunyi, maka mereka berkampanye dengan terang-terangan di koran, tv, radio, seminar, internet, hampir semua sarana mereka pergunakan untuk menyesatkan aqidah umat.
Ungkapan itu bertentangan dengan ayat:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran; 85).
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah: 147).
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS Yunus: 32).
Apakah Ulil mendapatkan mandat dari Allah swt untuk membatalkan ayat-ayat Allah? Di antaranya QS Al-Mumtahanah/60: 10 dan QS Al-Baqarah: 221. Padahal jelas sudah tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Jadi Ulil sedang menangkringkan dirinya sebagai “Tuhan”?
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang hukum-hukum Allah, baik tentang qishash, hudud, waris, dan lain-lain. Hanya orang yang jelas-jelas kafir yang mengingkari hukum-hukum tersebut.
Dari sisi lain, tentang apa yang telah dikemukakan Ulil, kalau larangan minuman khamr itu bersifat sekunder dan kontekstual, hingga vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin; maka larangan berzina yaitu untuk melindungi keluarga (nasab –keturunan) pun bisa diqiyaskan kepada “fatwa Ulil” tentang vodka itu. Hingga orang yang bermadzhab kepada faham Ulil akan mengqiyaskannya: berzina di Puncak yang udaranya sangat dingin atau di musim dingin di daerah-daerah yang ada musim dinginnya maka tidak apa-apa, karena di sana sangat dingin. Karena zina itu larangannya sekunder dan kontekstual. Kalau sampai demikian, maka rusaklah agama ini.
Kontekstual yang benar menurut ilmu Islam adalah ayat satu dihubungkan dengan ayat lainnya serta hadits-hadits yang menjelaskannya, sesuai dengan penjelasan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in atau ulama yang ahli dan terpercaya. Itulah kontekstual. Sehingga ditemukan makna ayat atau hadits yang benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ulil Abshar Abdalla dengan aneka ketegarannya mendapatkan fatwa hukuman mati dengan diqiyaskan kepada Pendeta Suradi yang menghina Islam, tapi oleh pendukungnya ia malah mendapatkan tawaran untuk belajar di Amerika serta diberi peluang untuk berbicara, menulis, ceramah dan sebagainya oleh orang-orang atau lembaga atau kelompok yang ingin menghancurkan Islam lewat orang yang mengaku Islam.
Orang yang membela agama Allah dengan ikhlas insya Allah akan dimudahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya, orang yang merusak agama, ia akan mendapat dukungan dari kafirin, munafiqin, musyrikin, sekuler, anti Islam berfaham liberal, menyamakan semua agama dan sebagainya hingga mudah untuk menjajakan perusakan terhadap agama. Padahal masalah semacam ini telah diancam oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ulil “sukses” menghebohkan umat Islam dengan tulisannya yang menafikan hukum Tuhan itu kemudian diundang untuk bicara di Paramadina, Februari 2003. Konsepnya yang belum matang lalu agak dimatangkan kemudian dihidangkan di sana, dengan “mengompori” orang-orang yang tergabung dalam diskusi di Paramdina bahwa kalau kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang difahami umat Islam selama ini maka artinya adalah penyembahan teks. Ulil mengajukan jalan keluarnya, yaitu Al-Qur’an dipakai namun kedudukannya adalah separoh, sedang yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia, karena manusia itu sudah diberi takrim (penghormatan). Jalan keluar yang dilontarkan Ulil itu sebenarnya hanyalah tidak mau menerima kalau manusia ini harus tunduk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dari apa yang dikatakannya kita bisa menilai betapa buruknya pemahamannya tentang syariat Islam, ia ingin menghancurkan moral umat ini dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemauan tuannya (orang yang membayar dia untuk menyesatkan umat Islam). Padahal, tentang Kisah Nabi Luth a.s. Al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf: 80-84).
Karena itu, para mufassir Al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual.
=================
Maka sungguh Maha Benar Allah yang memberi petunjuk dengan Al-Qur’an kepada siapa yang dikehendakinya. Maha Suci Allah yang berfirman:
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS As-Shaff: 8).
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS At-Taubah: 59).
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS Al-An’aam: 112).
FATWA
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, ulama internasional di Mesir, penulis Fiqh Siroh (Sejarah Nabi Muhammad SAW) mengemukakan, penguasa adalah cerminan masyarakat. Maka apabila masyarakat ingin bebas untuk hidup dalam kemuliaan Islam, wajib atas masyarakat itu memegang teguh Islam tanpa meninggalkannya sedikitpun. Syaikh Al-Ghazali mengemukakan usahanya untuk mengembalikan hal yang telah pernah sampai pada Muslimin dulu yakni berlakunya hukum --yang diturunkan Allah-- di seluruh negeri umat Islam.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang produktif menulis ini jagoan juga dalam berdebat. Setidaknya beliau telah dua kali berdebat secara resmi dengan kelompok ilmaaniyah (sekular). Pertama, tahun 1989, Darul Hikmah (lembaga di bawah Ikatan Dokter Mesir) menyelenggarakan debat Islam dan Sekular. Syaikh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qorodhowi dari pihak Islam, berhadapan dengan kubu sekular yang saat itu tampil Dr Fuad Zakariya. Debat kedua, 1992, diadakan oleh Asosiasi Penulis Mesir pimpinan Dr Samir Sarhan, dihadiri 30.000 hadirin. Wakil pihak Islam Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma'mun Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah berhadapan dengan kelompok sekular diwakili Dr Muhammad Khalafallah dan Dr Faraq Fouda. Hasilnya disebarkan ke seluruh dunia, di antaranya di Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta dengan judul Debat Islam-Sekular.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali didatangkan di dalam pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam) Juli 1993 di Mesir atas kasus terbunuhnya tokoh sekular Dr Faraq Fouda, 8 Juni 1992. Kesaksian Syaikh Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekular, karena menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, sekular itu hukumnya adalah keluar dari Islam.
Syaikh Al-Ghazali ditanya Majalah Al-Khoiriyah: Anda cukup lama menolak kebohongan orang sekular terhadap Islam, apa sebenarnya mereka itu?
Jawab Syaikh Al-Ghazali: Mereka itu adalah manusia yang telah keluar dari Islam secara nyata. Kalau toh kemurtadannya itu pasif dan mereka tinggal saja di dalam rumah-rumah mereka, maka kami tidak mendobrak rumah-rumah mereka dan kami tidak berusaha menghukumi mereka. Tetapi mereka itu ingin bertolak di jalan-jalan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, lalu mereka memerangi sholat sambil menggalakkan kebejatan akhlaq dan pemabukan. Mereka menginginkan kaum Muslimin meninggalkan agamanya di medan-medan pembinaan, tarbiyah, ta'lim, pers dan sebagainya. Mereka itu musuh-musuh Islam, maka wajib kita singkap wajah-wajah mereka agar kita tahu betul hakekat mereka dan menghadang jalan mereka.
Dalam perdebatan dengan kaum sekular yang dihadiri 30.000 pengunjung, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan tentang sempoyongannya peradaban Barat. "Mereka berjalan sempoyongan dan tidak dapat keluar dari kegelapan dan kemuraman kecuali setelah mereka memboyong peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Umawiyah, Abbasiyah, dan Turki. Mereka ambil 'abjad-abjad', lalu mereka rangkai dan susun kata dan kalimat darinya," tuturnya.
Dalam hal kehidupan masyarakat, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan, minoritas Kristen Koptik yang ada di tengah Muslimin Mesir adalah kelompok minoritas yang paling bahagia di dunia ini. Mereka telah memperoleh segala hal yang mereka inginkan, baik yang berkenaan dengan urusan duniawi maupun ukhrowi. Bahkan ada yang menjadi sekjen PBB (Persatuan Bangsa-bangsa). "Apakah ada kelompok minoritas di dunia ini yang hidup di bawah naungan mayoritas kaum Yahudi dan Kristen yang anda jumpai seperti kehidupan sosial dalam naungan mayoritas Muslim ini?" sergah Syaikh Al-Ghazali.
Kehidupan sosial seperti ini, menurutnya, tidak lain tumbuh dari warisan peradaban Islam yang kita fahami dari agama kita, Kitab Suci kita, dan dari Sunnah Nabi kita; bahwa seluruh penduduk negeri berada dalam perlindungan dan amanah kita.
Oleh karena itu Syaikh Al-Ghazali mengingatkan kepada Umat agar digalang betul tentang pentingnya persatuan Islam di seluruh negeri dengan cara memegang teguh aqidah dan syari'ah Islam. Dengan demikian Muslimin merasa bersaudara secara internasional dan tahu betul bahwa dipecah-pecahnya umat Islam itu adalah program penjajah. Apabila umat Islam kembali pada agamanya, maka program semu yang digariskan para penjajah itu akan luntur dengan sendirinya.
MUI mendefinsikan Pluralisme Agama (PA) sebagai: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Tidak diragukan lagi, bagi yang masih memegang aqidah Islam, paham semacam itu memang paham syirik, karena itu, sangat wajar bahwa MUI menetapkannya sebagai “haram” dan bertentangan dengan ajaran agama Islam”.
Terhadap paham liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin, menegaskan: “Haram umat Islam menggunakan itu.”
Dengan kenyataan seperti itu, maka umat Islam mesti hati-hati dan waspada dalam mendidikkan anak-anaknya dan dalam bergaul. Hasil didikan dan pergaulan yang sedemikian mencemaskan semacam itu, yang lebih memprihatinkan umat Islam adalah makin banyaknya kaum intelektual Islam yang dalam belajar Islam mereka itu di bawah didikan orang-orang kafir Yahudi dan Nasrani di Barat, dan sekarang mereka menjadi pengajar-pengajar di perguruan-perguruan tinggi Islam dan lembaga-lembaga Islam se-Indonesia. Para anak didik kafirin Barat itulah justru yang banyak bercokol dan memang dicetak untuk menduduki perguruan-perguruan tinggi Islam se-Indonesia, diprogram secara intensif sejak Menteri Agama Mukti Ali 1975 sampai kini, dan paling gencar di masa Menteri Agama Munawir Sjadzali selama 10 tahun, 1983-1993. Dengan demikian, umat Islam mesti jeli, agar selamat dari jeratan kafirin Yahudi dan Nasrani Barat anti Islam itu, maka wajib mewaspadainya, menyingkirkan mereka, dan membatasi gerak mereka semaksimal mungkin. Tanpa sikap yang demikian, justru umat Islam akan menjadi mangsa mereka, yaitu wakil-wakil kafirin Yahudi Nasrani yang berbaju Islam untuk memangsa Islam dari dalam.
Membunuh orang Islam di barisan kafirin waktu perang adalah sah, menurut ajaran Islam, maka memboikot total seluruh kegiatan wakil kafirin (yang belajar Islam ke orang-orang kafir Barat) adalah sah pula . Dan sekarang sudah masanya umat Islam menjaga diri benar-benar mengenai bahaya ini.
Saatnya kita bertindak, saatnya kita membela aqidah umat, menunjukkan bahwa Islamlah kebenaran itu, dan kaum sekuler-pluralis-liberal itulah yang sesat. Ayo, siapa pengin berjihad? Kita tunggu bomnya, tapi bukan buku lho. Allahu a’lam wa musta’an.
Maroji:
www.hidayatullah.com
Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Hartono Ahmad Jaiz.