the very first STEP

Dalam beberapa tahun ini saya mengamati apa yang terjadi di dalam umat Islam di sekitar saya. Kenapa mereka begitu antusias, bangga, membela mati-matian terhadap bid’ah yang mereka lakukan. Belajar tentang bid’ah ternyata tidak cukup hanya dengan mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Itu tidak cukup, sangat tidak cukup. Yang lebih kita butuhkan adalah Allah membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui kesempurnaan Islam, keburukan bid’ah. Betapa banyak orang yang getol belajar tentang agama, namun ketika ia membeli buku, ia justru menambah keburukan agamanya karena membeli buku yang mengajarkan bid’ah untuk diamalkan. Ketika ia belajar dari seorang ustadz, ustadz itu bukan menyembuhkan penyakitnya tetapi malah menambah dengan bid’ah yang lain.

Sungguh Maha Suci Allah, Ia memberi hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa yang dikehendaki.

Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk belajar tentang bid’ah, mari memohon kepada Allah agar Ia membuka hati dan pikiran kita untuk menerima kebenaran. Bukalah hati anda untuk menerima dan berserah diri kepada Allah dan menerima segala syariat-Nya, menerima ajaran Nabi-Nya. Yakinilah bahwa seseorang (siapapun dia, kyai/ustadz) diterima dan ditolak perkataannya selain Rasulullah.

Minggu, 20 Maret 2011

Bom ulil, gimana sikap kita?

Mensikapi bom untuk Ulil

Peristiwa yang belum lama ini terjadi sungguh sangat kita sayangkan. Pengiriman bom kepada Ulil Abshar Abdala yang hanya berbentuk bom buku, itupun dibuka oleh orang lain yaitu polisi yang sok berani (yang akhirnya mereka mengerang kesakitan). Terlepas dari siapa yang mengirim, apakah benar orang yang benci (mereka menyebutnya teroris) atau orang mereka sendiri yang ingin cari perhatian dan sok merasa teraniaya, kita turut prihatin, sungguh sangat kita sayangkan. Ya, di tengah gencarnya kampanye sekulerisme, pluralisme, liberalisme yang dilakukan oleh para pengikut Islam liberal, sangat kita sayangkan kenapa hanya bom buku yang dikirimkan ke Utan Kayu, kenapa bukan bom mobil atau truk? Kenapa hanya Ulil, kenapa tidak sekalian Masdar F Masudi, Zuhairi Misrawi, Musdah Mulia, dan antek-antek mereka (la’natullahi alaihim) yang ingin mencabut aqidah umat dan menggantinya dengan kebebasan tanpa batas?
Mereka dengan lancang berani mengutak-atik pemahaman umat tentang Islam, tentang Al-Qur’an, dengan memberikan penafsiran yang jauh dari nilai kebenaran. Seandainya mereka memiliki pemahaman yang nyleneh itu dipakai sendiri dan akan dikubur bersama bangkai mereka, itu tidaklah mengapa. Tetapi mereka dengan gigih dan terorganisir ingin menyebarluaskan pemahaman mereka dengan segala sarana yang mereka miliki, tentu saja dengan dukungan finansial yang melimpah yang entah darimana datangnya.
Mereka sama berbahayanya dengan ahmadiyah, bahkan mungkin mereka lebih berbahaya, kalau ahmadiyah melakukan kampanye dengan sembunyi-sembunyi, maka mereka berkampanye dengan terang-terangan di koran, tv, radio, seminar, internet, hampir semua sarana mereka pergunakan untuk menyesatkan aqidah umat.

Lihatlah betapa beraninya Ulil ketika menyamakan Islam dengan Agama-agama Lain
Ulil: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama berabab-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar Gereja. Baru pada 1965 Masehi, Gereja Katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam, yang berusia 1.423 tahun dari hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik.”
Ungkapan itu bertentangan dengan ayat:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran; 85).
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah: 147).
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS Yunus: 32).

Lihat juga pendapatnya tentang Kawin Beda Agama
Ulil: “Larangan beda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi, umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus takut kawin dengan yang di luar Islam. Islam sendiri sebenarnya sudah mencapai kemajuan kala itu, membolehkan laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli kitab. Ahli kitab hingga saat ini masih ada. Malah, agama-agama selain Nasrani dan Yahudi pun bisa disebut ahli kitab. Kawin beda agama hambatannya bukan teologi, melainkan sosial.” (Gatra, 21 Desember 2002).
Apakah Ulil mendapatkan mandat dari Allah swt untuk membatalkan ayat-ayat Allah? Di antaranya QS Al-Mumtahanah/60: 10 dan QS Al-Baqarah: 221. Padahal jelas sudah tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Jadi Ulil sedang menangkringkan dirinya sebagai “Tuhan”?
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).

Ia juga telah terang-terangan kafir kepada Al-Qur’an dengan menganggap Tidak Ada Hukum Tuhan
Ulil: “Dalam pemikiran hukum Islam dibedakan antara wilayah ibadah dan muamalah. Wilayah ibadah sudah diatur secara detail. Semua tata cara ibadah harus sesuai dengan ketentuan agama. Misalnya salat, jumlah rakaatnya tak bisa ditambah. Tapi, muamalah itu progresif dan dinamis, sesuai dengan perkembangan manusia. Sedangkan hukum Tuhan yang diibaratkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak pernah ada. Walaupun pernah diterapkan pada masa Nabi, hanya berlaku pada saat itu saja. Misalnya potong tangan, qishash, dan rajam. Ini praktek yang lahir karena pengaruh kultur Arab. Yang terpenting dalam hukum adalah mencakup lima pokok kemaslahan (maqasidusy-syariah), yaitu untuk menjaga jiwa, akal, agama, harta, dan kehormatan. Misalnya, perlindungan akal diwujudkan dalam bentuk pelarangan minuman keras (khamar). Jadi, haramnya khamar ini bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu, vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin.” (Gatra, 21 Desember 2002).

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang hukum-hukum Allah, baik tentang qishash, hudud, waris, dan lain-lain. Hanya orang yang jelas-jelas kafir yang mengingkari hukum-hukum tersebut.

Jelas-Jelas Ia Ingin Merusak Pemahaman Umat Islam
Cara berfikir Ulil Abshar Abdalla ini sangat memberi peluang dalam merusak pemahaman Islam. Dalam hal lima pokok itu sendiri, urutan lima hal yang dilindungi itu sudah ia ubah. Mestinya urutan yang pertama adalah agama (perlindungan nomor pertama, hingga orang yang murtad dan meninggalkan jama’ah maka dihukum mati karena membahayakan agama), lalu oleh Ulil diurutkan ke nomor tiga. Padahal dikedepankannya agama sebagai nomor pertama yang dilindungi itu ada implikasinya. Dalam sejarah, nabi palsu seperti Musailamah Al-Kadzdzab diperangi sampai mati oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq dengan mengerahkan 10.000 tentara, dan dipilihkan panglima terkenal Khalid bin Walid untuk memimpin penyerbuan. Demikian pula Ja’d bin Dirhim disembelih sebagai korban di hari raya Idul Adha oleh Gubernur Wilayah Wasith di Irak gara-gara pendapatnya yang nyeleneh, yaitu mengingkari Nabi Ibrahim sebagai Khalilullah, dan Nabi Musa sebagai Kalimullah. Juga murid Ja’d bin Dirhim yakni Jahm bin Shofwan dibunuh karena pendapatnya yang menyeleweng dari Islam. Al-Hallaj pun dihukum bunuh di Baghdad tahun 309H/ 922M atas keputusan para ulama karena Al-Hallaj tokoh tasawuf sesat itu mengatakan anal haqq (aku adalah al-haq, Tuhan).
Dari sisi lain, tentang apa yang telah dikemukakan Ulil, kalau larangan minuman khamr itu bersifat sekunder dan kontekstual, hingga vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin; maka larangan berzina yaitu untuk melindungi keluarga (nasab –keturunan) pun bisa diqiyaskan kepada “fatwa Ulil” tentang vodka itu. Hingga orang yang bermadzhab kepada faham Ulil akan mengqiyaskannya: berzina di Puncak yang udaranya sangat dingin atau di musim dingin di daerah-daerah yang ada musim dinginnya maka tidak apa-apa, karena di sana sangat dingin. Karena zina itu larangannya sekunder dan kontekstual. Kalau sampai demikian, maka rusaklah agama ini.
Kontekstual yang benar menurut ilmu Islam adalah ayat satu dihubungkan dengan ayat lainnya serta hadits-hadits yang menjelaskannya, sesuai dengan penjelasan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in atau ulama yang ahli dan terpercaya. Itulah kontekstual. Sehingga ditemukan makna ayat atau hadits yang benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Penjahat akan terdukung kejahatannya
Nurcholish Madjid dalam kondisi yang kalah tegar dibanding Ulil, namun akibat didukung-dukung oleh para pengagumnya seperti Dawam Rahardjo maka bisa diangkat sebagai orang berjulukan cendekiawan Muslim terkemuka, sedang oleh pihak yang mengkritisinya adalah tak lebih dari Gatoloco Darmogandul yang mengkutak-katik Islam semaunya.
Ulil Abshar Abdalla dengan aneka ketegarannya mendapatkan fatwa hukuman mati dengan diqiyaskan kepada Pendeta Suradi yang menghina Islam, tapi oleh pendukungnya ia malah mendapatkan tawaran untuk belajar di Amerika serta diberi peluang untuk berbicara, menulis, ceramah dan sebagainya oleh orang-orang atau lembaga atau kelompok yang ingin menghancurkan Islam lewat orang yang mengaku Islam.
Orang yang membela agama Allah dengan ikhlas insya Allah akan dimudahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya, orang yang merusak agama, ia akan mendapat dukungan dari kafirin, munafiqin, musyrikin, sekuler, anti Islam berfaham liberal, menyamakan semua agama dan sebagainya hingga mudah untuk menjajakan perusakan terhadap agama. Padahal masalah semacam ini telah diancam oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ulil “sukses” menghebohkan umat Islam dengan tulisannya yang menafikan hukum Tuhan itu kemudian diundang untuk bicara di Paramadina, Februari 2003. Konsepnya yang belum matang lalu agak dimatangkan kemudian dihidangkan di sana, dengan “mengompori” orang-orang yang tergabung dalam diskusi di Paramdina bahwa kalau kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang difahami umat Islam selama ini maka artinya adalah penyembahan teks. Ulil mengajukan jalan keluarnya, yaitu Al-Qur’an dipakai namun kedudukannya adalah separoh, sedang yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia, karena manusia itu sudah diberi takrim (penghormatan). Jalan keluar yang dilontarkan Ulil itu sebenarnya hanyalah tidak mau menerima kalau manusia ini harus tunduk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kita juga bisa melihat betapa busuknya fatwa kaum liberal seperti Musdah Mulia la’natullahi alaiha.
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.”

Dari apa yang dikatakannya kita bisa menilai betapa buruknya pemahamannya tentang syariat Islam, ia ingin menghancurkan moral umat ini dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemauan tuannya (orang yang membayar dia untuk menyesatkan umat Islam). Padahal, tentang Kisah Nabi Luth a.s. Al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf: 80-84).
Karena itu, para mufassir Al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual.
=================
Maka sungguh Maha Benar Allah yang memberi petunjuk dengan Al-Qur’an kepada siapa yang dikehendakinya. Maha Suci Allah yang berfirman:
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS As-Shaff: 8).
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS At-Taubah: 59).
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS Al-An’aam: 112).

FATWA
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, ulama internasional di Mesir, penulis Fiqh Siroh (Sejarah Nabi Muhammad SAW) mengemukakan, penguasa adalah cerminan masyarakat. Maka apabila masyarakat ingin bebas untuk hidup dalam kemuliaan Islam, wajib atas masyarakat itu memegang teguh Islam tanpa meninggalkannya sedikitpun. Syaikh Al-Ghazali mengemukakan usahanya untuk mengembalikan hal yang telah pernah sampai pada Muslimin dulu yakni berlakunya hukum --yang diturunkan Allah-- di seluruh negeri umat Islam.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang produktif menulis ini jagoan juga dalam berdebat. Setidaknya beliau telah dua kali berdebat secara resmi dengan kelompok ilmaaniyah (sekular). Pertama, tahun 1989, Darul Hikmah (lembaga di bawah Ikatan Dokter Mesir) menyelenggarakan debat Islam dan Sekular. Syaikh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qorodhowi dari pihak Islam, berhadapan dengan kubu sekular yang saat itu tampil Dr Fuad Zakariya. Debat kedua, 1992, diadakan oleh Asosiasi Penulis Mesir pimpinan Dr Samir Sarhan, dihadiri 30.000 hadirin. Wakil pihak Islam Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma'mun Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah berhadapan dengan kelompok sekular diwakili Dr Muhammad Khalafallah dan Dr Faraq Fouda. Hasilnya disebarkan ke seluruh dunia, di antaranya di Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta dengan judul Debat Islam-Sekular.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali didatangkan di dalam pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam) Juli 1993 di Mesir atas kasus terbunuhnya tokoh sekular Dr Faraq Fouda, 8 Juni 1992. Kesaksian Syaikh Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekular, karena menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, sekular itu hukumnya adalah keluar dari Islam.
Syaikh Al-Ghazali ditanya Majalah Al-Khoiriyah: Anda cukup lama menolak kebohongan orang sekular terhadap Islam, apa sebenarnya mereka itu?
Jawab Syaikh Al-Ghazali: Mereka itu adalah manusia yang telah keluar dari Islam secara nyata. Kalau toh kemurtadannya itu pasif dan mereka tinggal saja di dalam rumah-rumah mereka, maka kami tidak mendobrak rumah-rumah mereka dan kami tidak berusaha menghukumi mereka. Tetapi mereka itu ingin bertolak di jalan-jalan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, lalu mereka memerangi sholat sambil menggalakkan kebejatan akhlaq dan pemabukan. Mereka menginginkan kaum Muslimin meninggalkan agamanya di medan-medan pembinaan, tarbiyah, ta'lim, pers dan sebagainya. Mereka itu musuh-musuh Islam, maka wajib kita singkap wajah-wajah mereka agar kita tahu betul hakekat mereka dan menghadang jalan mereka.
Dalam perdebatan dengan kaum sekular yang dihadiri 30.000 pengunjung, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan tentang sempoyongannya peradaban Barat. "Mereka berjalan sempoyongan dan tidak dapat keluar dari kegelapan dan kemuraman kecuali setelah mereka memboyong peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Umawiyah, Abbasiyah, dan Turki. Mereka ambil 'abjad-abjad', lalu mereka rangkai dan susun kata dan kalimat darinya," tuturnya.
Dalam hal kehidupan masyarakat, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan, minoritas Kristen Koptik yang ada di tengah Muslimin Mesir adalah kelompok minoritas yang paling bahagia di dunia ini. Mereka telah memperoleh segala hal yang mereka inginkan, baik yang berkenaan dengan urusan duniawi maupun ukhrowi. Bahkan ada yang menjadi sekjen PBB (Persatuan Bangsa-bangsa). "Apakah ada kelompok minoritas di dunia ini yang hidup di bawah naungan mayoritas kaum Yahudi dan Kristen yang anda jumpai seperti kehidupan sosial dalam naungan mayoritas Muslim ini?" sergah Syaikh Al-Ghazali.
Kehidupan sosial seperti ini, menurutnya, tidak lain tumbuh dari warisan peradaban Islam yang kita fahami dari agama kita, Kitab Suci kita, dan dari Sunnah Nabi kita; bahwa seluruh penduduk negeri berada dalam perlindungan dan amanah kita.
Oleh karena itu Syaikh Al-Ghazali mengingatkan kepada Umat agar digalang betul tentang pentingnya persatuan Islam di seluruh negeri dengan cara memegang teguh aqidah dan syari'ah Islam. Dengan demikian Muslimin merasa bersaudara secara internasional dan tahu betul bahwa dipecah-pecahnya umat Islam itu adalah program penjajah. Apabila umat Islam kembali pada agamanya, maka program semu yang digariskan para penjajah itu akan luntur dengan sendirinya.

MUI mendefinsikan Pluralisme Agama (PA) sebagai: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Tidak diragukan lagi, bagi yang masih memegang aqidah Islam, paham semacam itu memang paham syirik, karena itu, sangat wajar bahwa MUI menetapkannya sebagai “haram” dan bertentangan dengan ajaran agama Islam”.
Terhadap paham liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin, menegaskan: “Haram umat Islam menggunakan itu.”

Dengan kenyataan seperti itu, maka umat Islam mesti hati-hati dan waspada dalam mendidikkan anak-anaknya dan dalam bergaul. Hasil didikan dan pergaulan yang sedemikian mencemaskan semacam itu, yang lebih memprihatinkan umat Islam adalah makin banyaknya kaum intelektual Islam yang dalam belajar Islam mereka itu di bawah didikan orang-orang kafir Yahudi dan Nasrani di Barat, dan sekarang mereka menjadi pengajar-pengajar di perguruan-perguruan tinggi Islam dan lembaga-lembaga Islam se-Indonesia. Para anak didik kafirin Barat itulah justru yang banyak bercokol dan memang dicetak untuk menduduki perguruan-perguruan tinggi Islam se-Indonesia, diprogram secara intensif sejak Menteri Agama Mukti Ali 1975 sampai kini, dan paling gencar di masa Menteri Agama Munawir Sjadzali selama 10 tahun, 1983-1993. Dengan demikian, umat Islam mesti jeli, agar selamat dari jeratan kafirin Yahudi dan Nasrani Barat anti Islam itu, maka wajib mewaspadainya, menyingkirkan mereka, dan membatasi gerak mereka semaksimal mungkin. Tanpa sikap yang demikian, justru umat Islam akan menjadi mangsa mereka, yaitu wakil-wakil kafirin Yahudi Nasrani yang berbaju Islam untuk memangsa Islam dari dalam.
Membunuh orang Islam di barisan kafirin waktu perang adalah sah, menurut ajaran Islam, maka memboikot total seluruh kegiatan wakil kafirin (yang belajar Islam ke orang-orang kafir Barat) adalah sah pula . Dan sekarang sudah masanya umat Islam menjaga diri benar-benar mengenai bahaya ini.
Saatnya kita bertindak, saatnya kita membela aqidah umat, menunjukkan bahwa Islamlah kebenaran itu, dan kaum sekuler-pluralis-liberal itulah yang sesat. Ayo, siapa pengin berjihad? Kita tunggu bomnya, tapi bukan buku lho. Allahu a’lam wa musta’an.

Maroji:
www.hidayatullah.com
Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Hartono Ahmad Jaiz.

Siapa saja tuhan kita?

Sungguh umat Islam saat ini benar-benar jauh dari agamanya, sehingga jangankan cara beribadah yang benar, aqidah yang menjadi pondasi keislaman saja, banyak yang salah kaprah. Betapa banyak manusia yang mengaku beragama Islam, tetapi bangga dalam melaksanakan syariat yang bukan dari agamanya, bahkan mereka benci kepada syariat agamanya sendiri dengan mengatakan bahwa saya bukan orang Arab. Kenapa mereka tidak mengaku saja sekalian bahwa mereka adalah orang kafir yang tidak mau diatur dengan syariat Allah?
Betapa banyak orang yang bangga memakai simbol-simbol keislaman tapi malu mengamalkan ajaran Islam. Betapa banyak orang yang begitu cinta kepada kyainya melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga ketika apa yang disampaikan oleh sang kyai bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah, mereka dengan bangga mengatakan bahwa kyai (Ulama) adalah pewaris para nabi, sehingga mereka beranggapan mengikuti kyai sama seperti mengikuti nabi, mereka tidak pernah salah, mereka selalu benar. Sehingga apapun yang syariat yang dibawa oleh para kyai tersebut mereka terima dengan antusias, dengan penuh keyakinan mereka laksanakan dengan harapan tinggi bahwa amalan mereka akan diterima Allah.

Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid'ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur'an dalam firman Allah SWT, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (at-Taubah: 31)
Al-Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, "(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu." Rasulullah saw. menjawab, "Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu."
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja; shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, "Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu." Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah milik Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.... "(asy-Syuura: 21)

Betapa malangnya orang yang beranggapan telah melakukan yang sebaik-baiknya dalam beragama tetapi sesungguhnya mereka memiliki tuhan-tuhan yang lain selain Allah, karena mereka menerima, mengikuti, melaksanakan syariat buatan manusia (kyai sekalipun) padahal bertentangan dengan syariat Allah.
Alangkah bijaknya jika kita belajar dari para ulama (maksud saya "yang benar-benar ulama") dalam memahami bagaimana sikap kita terhadap fatwa mereka tentang suatu permasalahan, bagaimana mensikapi fatwa ulama ketika berhadapan dengan sunnah Rasulullah. Di sini saya kutipkan pernyataan para imam madzhab yang empat yang saya kira cukup untuk mewakili sikap para ulama tentang masalah yang kita bahas ini:

1. IMAM ABU HANIFAH
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang pada Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ucapan beliau:
A. "Artinya : Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku".
B. "Artinya : Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya".
C. Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan : "Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberikan fatwa". Pada riwayat lain ditambahkan : "Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami mencabutnya". Pada riwayat lain lagi dikatakan : "Wahai Ya'qub (Abu Yusuf), celakalah kamu! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya".
D. "Artinya : Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu".

2. IMAM MALIK
Imam Malik bin Anas menyatakan :
A. "Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, ambillah ; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, tinggalkanlah".
B. "Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri".

3. IMAM ASY-SYAFI'I
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi'i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus dan pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung. Beliau berpesan antara lain:
A. "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku"
B. "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang"
C. "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu"
D. "Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku"
E. "Kalian lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya"
F. "Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati"
G. "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna"
H. "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku"
I. "Setiap Hadits yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku"

4. IMAM AHMAD
Ahmad bin Hanbal merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun Hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat masalah furu' dan ra'yu. Beliau menyatakan sebagai berikut :
A. "Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi'i, Auza'i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil. Pada riwayat lain disebutkan : "Janganlah kamu taqlid kepada siapapun mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi'in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima)" Kali lain dia berkata : "Yang dinamakan ittiba' yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi'in boleh dipilih".
B. "Pendapat Auza'i, Malik dan Abu Hanifah adalah ra'yu (pikiran). Bagi saya semua ra'yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (Hadits)"
C. "Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran"

Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada Hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Pernyataan mereka itu sudah jelas tidak bisa dibantah dan diputarbalikkan lagi. Mereka mewajibkan berpegang pada semua hadits yang shahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya bila seseorang meninggalkan Hadits-hadits yang shahih karena dipandang menyalahi pendapat mereka. Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan menyalahi pendapat-pendapat mereka yang telah dikemukakan di atas. Allah berfirman:
"Artinya : Demi Tuhanmu, mereka itu tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati". [An-Nisa' : 65]
Allah juga berfirman:
"Artinya : Orang-orang yang menyalahi perintahnya, hendaklah takut fitnah akan menerima mereka atau azab yang pedih akan menimpa mereka". [An-Nur : 63]

Imam Hafizh Ibnu Rajab berkata :
"Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh mana pun yang menyalahi perintahnya, yang terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena itulah, para sahabat dan para tabi'in selalu menolak pendapat yang menyalahi Hadits yang shahih dengan penolakan yang keras yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh di atas mahluk lainnya. Bila perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah beliau lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari Allah.Bahkan orang yang mendapat ampunan dari Allah, yang pendapatnya menyalahi perintah Rasuluallah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa ketentuan Rasulullah berlawanan dengan pendapatnya.

Dengan demikian terungkapkanlah buruknya sikap taqlid kepada para kyai, karena kebenaran mutlak hanyalah dari Allah dan Rasul-Nya. Kepada Allah dan Rasul-Nya kita harus tunduk patuh tanpa reserve, bukan kepada kyai. Jangan sampai kita begitu bangga dengan status keislaman kita, tetapi pada saat yang sama kita menjadikan para kyai sebagai tuhan selain Allah, menerima syariat buatan mereka tanpa sikap selektif, tanpa bertanya, tanpa meneliti dalil yang dipakai. Semoga Allah menunjuki kita jalan yang lurus, menjadikan kita umat yang berjalan di atas rel yang benar, ilmu yang benar, amal yang benar, yang berdasar kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. amin.
Allahu a’lam.

Maroji’:
Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Sunnah dan Bid’ah. Dr. Yusuf Qardhawi.

ahmadiyah lagi?

Ahmadiyah kembali menimbulkan masalah, para politikus, ulama, kafirin saling berdebat untuk menentukan nasib para pengikut Ahmadiyah dan kepercayaannya.
Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, menjadikan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang diputuskan tahun 1985. Isinya menyatakan, bahwa Aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’iy, dan disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir.
Fatwa MUI tahun 2005 itu menegaskan kembali fatwa tahun 1980, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. MUI juga meminta agar pemerintah segera melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasinya.
Dalam kasus Nabi palsu seperti ini, Nabi Muhammad saw dan juga sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq lebih memilih mengambil sikap yang tegas, sebab ini sudah menyangkut soal aqidah, soal keimanan. Jangankan dalam soal kenabian. Dalam masalah kenegaraan saja, orang yang membuat gerakan separatis atau merusak dasar negara juga dikenai tuntutan hukum. Kaum separatis, meskipun melakukan aksi damai, berkampanye secara damai untuk mendukung aksi separatisme, tetap tidak dapat dibenarkan. Jadi, kalau orang berkampanye merusak Islam, seperti yang dilakukan oleh Ahmadiyah dan para pendukungnya, tetap tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam.

Saudara-saudara kita yang menyerukan agar Ahmadiyah dinyatakan berada di luar Islam telah melakukan kesalahan besar. Dari sejarah kita harus belajar, apa yang terjadi di Pakistan harus menjadi bahan pelajaran bagi kita semua, karena betapapun dinyatakannya Ahmadiyah berada di luar Islam, tetap saja mereka berdakwah mencari pengikut dengan menggunakan cara-cara yang licik, menggunakan ayat-ayat Al-quran dan hadits-hadits yang telah mereka selewengkan artinya sesuai hawa nafsu mereka.
Adalah suatu kenicayaan bagi kita untuk mengamalkan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah kepada kita yaitu untuk berpegang tegung kepada sunnahnya dan sunnah Khulafaur rasyidin al mahdiyin. Kita telah mengetahui apa yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Musailamah al kadzab.
Dalam sejarah, nabi palsu seperti Musailamah Al-Kadzdzab diperangi sampai mati oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq dengan mengerahkan 10.000 tentara, dan dipilihkan panglima terkenal Khalid bin Walid untuk memimpin penyerbuan. Kenapa? Karena darurat agama menduduki peringkat tertinggi yang harus diutamakan dibanding hal-hal yang lain yang harus dijaga.
Sungguh betapa bijak dan tingginya pemahaman Abu Bakar dan betapa bodohnya orang yang meninggalkan sunnahnya untuk mengikuti ketetapan orang-orang kafir (pengikut demokrasi) dan betapa rendahnya martabat orang yang takut dengan celaan orang-orang munafiq, padahal seorang mukmin tahu bahwa Allah lebih berhak untuk ditakuti adzabnya, Rasulullah dan Khulafaur rasyidin lebih berhak untuk diikuti sunnahnya.
Lahirlah wahai Abu Bakar abad modern, tumpaslah Musailamah abad modern. Tumpas habis mereka, apapun yang dikatakan oleh orang-orang kafir dan munafiq. Memang ini seperti sudah terlambat, tetapi terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Kita harus memikirkan bagaimana agama dan aqidah anak cucu kita yang tinggal di negeri yang para da’i kesesatan selalu mengintai mereka untuk menyeret mereka ke dalam neraka. Saatnya kita bertindak, sekali lagi janganlah ucapan orang kafir dan munafiq itu mencegah kita melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya juga sunnah Khulafaur rasyidin.
Tumpas habis para pemimpin dan du’at mereka, hentikan seluruh kegiatan dakwah dan finansial mereka, serta yang tak kalah penting adalah berdakwah kepada pengikut mereka di kalangan awam yang tidak memiliki pengetahuan agama yang memadai sehingga mereka mudah disesatkan para da’i Ahmadiyah.
Orang-orang kafir yang bertuhankan demokrasi mengatakan bahwa pengikut Ahmadiyah punya hak untuk hidup, beribadah sesuai pemahaman mereka, dan punya hak untuk berdakwah. Tidak. Bahkan mereka tidak punya hak untuk bernafas, karena udara ini adalah milik Allah. Mereka tidak punya hak untuk minum, karena air adalah milik Allah. Bagaimana mungkin mereka diberi hak sedemikian rupa, sedangkan mereka mencela agama Allah, melecehkan kitab-Nya, mencela Rasul-Nya yang terakhir. Tidak. Bukan SKB yang kita berikan, bukan pengawasan, bukan pembubaran yang pantas bagi mereka. Yang akan mereka dapatkan hanyalah pedang. Apakah mereka yang mati dan masuk neraka atau kita yang mati syahid menegakkan agama Allah. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba yang disifati Allah "asy-syida'u ala kuffar, ruhamaau bainahum". Hanya ada pedang bagi mereka. Hanya pedang. HANYA PEDANG.