the very first STEP

Dalam beberapa tahun ini saya mengamati apa yang terjadi di dalam umat Islam di sekitar saya. Kenapa mereka begitu antusias, bangga, membela mati-matian terhadap bid’ah yang mereka lakukan. Belajar tentang bid’ah ternyata tidak cukup hanya dengan mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Itu tidak cukup, sangat tidak cukup. Yang lebih kita butuhkan adalah Allah membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui kesempurnaan Islam, keburukan bid’ah. Betapa banyak orang yang getol belajar tentang agama, namun ketika ia membeli buku, ia justru menambah keburukan agamanya karena membeli buku yang mengajarkan bid’ah untuk diamalkan. Ketika ia belajar dari seorang ustadz, ustadz itu bukan menyembuhkan penyakitnya tetapi malah menambah dengan bid’ah yang lain.

Sungguh Maha Suci Allah, Ia memberi hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa yang dikehendaki.

Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk belajar tentang bid’ah, mari memohon kepada Allah agar Ia membuka hati dan pikiran kita untuk menerima kebenaran. Bukalah hati anda untuk menerima dan berserah diri kepada Allah dan menerima segala syariat-Nya, menerima ajaran Nabi-Nya. Yakinilah bahwa seseorang (siapapun dia, kyai/ustadz) diterima dan ditolak perkataannya selain Rasulullah.

Sabtu, 27 November 2010

Marichan dan wedhus gembel


 Alkisah, suatu hari di lereng gunung Mergeni seseorang yang disebut sebagai juru kunci gunung tersebut bernama mbah Marichan komat-kamit membaca doa dan mantera. Ia berkomunikasi dengan para wedhus gembel yang ada di dalam gunung tersebut untuk mencegah mereka keluar dari gunung tersebut.
“Turuo..... turuoooo.....”, (artinya: “Tidurlah, tidurlah!”) demikian perintah mbah Marichan.
Tetapi beberapa saat kemudian, para wedhus gembel keluar dari mulut gunung dan berlari kencang menuruni gunung dengan bergerombol, menabrak apa saja yang ada di depannya.
Malang nasib mbah Marjani, ia termasuk beberapa orang yang ditabrak gerombolan wedhus gembel, ia tewas seketika.
Kenapa para wedhus gembel itu tidak mengindahkan perintah mbah Marichan, bukankah mbah Marichan adalah juru kunci gunung tersebut?
Usut punya usut, ternyata kesalahan terletak pada mbah Marichan sendiri, ketika ia berkomunikasi dengan para wedhus gembel, ia ingin menyuruh mereka untuk tidur tetapi salah ucap.
“Rosoooo...... Rosoooooo.....”, (artinya: “Kuat... Kuat....”) demikian yang terucap tanpa sengaja dari mulut mbah Marichan, ia teringat pada iklan sebuah produk minuman energi.
Para wedhus gembel pun patuh pada perintah sang juru kunci untuk keluar dengan kekuatan penuh.
Selamat jalan Mbah, semoga “Rosssoooooo” di alam kubur sana.
(Cerita ini fiktif belaka. Kemiripan nama, tempat, dan kejadian adalah disengaja.)

Mbah Marichan adalah sosok yang sulit untuk diberi identitas. Orang-orang dekatnya mengatakan bahwa ia adalah orang yang rajin sholat berjamaah di masjid, ia aktif sebagai salah seorang pengurus cabang salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Tetapi kita juga tahu bahwa ia adalah seorang juru kunci sebuah gunung, ia membuat sesajen, ia bersemedi, ia menyembah gunung atau penghuninya. 

Ya Allah, apa yang terjadi dengan umat ini. Berilah kami petunjuk-Mu untuk beraqidah dengan benar, untuk beribadah dengan baik dan benar. Engkau menunjuki siapa yang Kau kehendaki dan Kau sesatkan siapa yang Kau kehendaki.

kisah "SANTRI" kita

Alkisah, di suatu masjid di sebuah dusun yang penduduknya mayoritas berKTP Islam. Beberapa hari sebelum datang bulan Ramadhan, datang seorang santri dengan pakaian khas santrinya, sarung dan peci. Ia datang dari sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal di pulau Jawa yaitu ABI (Asrama Bid’ah Indonesia). Maka masyarakat pun kagum, “Pasti orang ini orang yang berilmu.”
Sang santri diutus oleh kyainya untuk magang berda’wah di dusun tersebut karena masyarakatnya yang masih jauh dari ajaran Islam, ia datang atas permohonan ta’mir masjid dusun itu. Maka ketika bulan Ramadhan tiba, santri ini mulai mengimami shalat wajib, tarawih, mengisi kultum, dan juga memimpin tadarus Al-Qur’an yang diikuti para remaja.
Pada malam hari, kurang lebih jam 2.30 ia bangun untuk beribadah. Dengan berniat “Nawaitu ...............” ia segera berwudhu dan mengenakan sarung untuk melaksanakan ibadah malamnya dengan khusu’. Segera ia menghidupkan amplifier masjid dan memegang microphone. Dengan niat yang tulus dan khusu’ ia segera melantunkan “ibadah”nya. Nyanyian demi nyanyian ia kumandangkan dengan merdu memecah keheningan malam.
“Kuluuuuuuu................. wasyrabuuuuuuuu...............”
Demikian sebagian lafal yang ia bacakan yang kurang lebih bermakna: “Makanlah kamu semua dan minumlah kamu semua!” Ia bermaksud membangunkan warga masyarakat untuk makan sahur, walaupun masyarakat yang tidak puasa lebih banyak daripada yang tidak. 
Demikianlah hari demi hari, santri ini melaksanakan tugasnya “berda’wah” di masjid itu.
Warga masyarakat yang awam dengan ilmu agama selalu menganggap bahwa apa yang dilakukan santri itu adalah benar, karena ia belajar dari kyai, kyai adalah ulama’, dan ulama’ adalah pewaris para nabi.
Mereka tidak pernah bertanya dan belajar mengapa ia melakukan ini dan itu, mereka tidak pernah pengin tahu apa yang diajarkan santri itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah atau tidak. Yang ada di dalam benak mereka adalah ia pasti benar, pasti baik.
(Cerita ini berdasarkan kisah nyata. Kesamaan tempat, ciri, dan kejadian adalah disengaja. Untuk Mas Santri ABI: Jangan marah yaa!)

Ada sesuatu yang perlu kita perhatikan bersama dari kisah di atas. Umat Islam sekarang ini begitu jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya, jauh dari orang yang berilmu yang sebenarnya. Mereka menanggap “ulama’” orang yang pada kenyataannya kurang paham ajaran Islam. Mereka mengikuti ajaran ulama’ mereka dengan patuh, tanpa ada sedikitpun sikap kritis terhadap ajaran itu. Dan ketika datang kepada mereka orang yang mengajak kepada ajaran Rasulullah, mereka menyangka bahwa ajaran ini salah dan yang benar adalah yang diajarkan ulama’ mereka.
Sedemikian jauhnya umat dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan mana ulama’ yang sesungguhnya dan ulama’ yang jadi-jadian.
Semoga Allah memberi hidayah kepada kita, saudara-saudara kita, tetangga kita, serta para kyai dan santri pondok pesantren ABI. Amin.