the very first STEP

Dalam beberapa tahun ini saya mengamati apa yang terjadi di dalam umat Islam di sekitar saya. Kenapa mereka begitu antusias, bangga, membela mati-matian terhadap bid’ah yang mereka lakukan. Belajar tentang bid’ah ternyata tidak cukup hanya dengan mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Itu tidak cukup, sangat tidak cukup. Yang lebih kita butuhkan adalah Allah membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui kesempurnaan Islam, keburukan bid’ah. Betapa banyak orang yang getol belajar tentang agama, namun ketika ia membeli buku, ia justru menambah keburukan agamanya karena membeli buku yang mengajarkan bid’ah untuk diamalkan. Ketika ia belajar dari seorang ustadz, ustadz itu bukan menyembuhkan penyakitnya tetapi malah menambah dengan bid’ah yang lain.

Sungguh Maha Suci Allah, Ia memberi hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa yang dikehendaki.

Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk belajar tentang bid’ah, mari memohon kepada Allah agar Ia membuka hati dan pikiran kita untuk menerima kebenaran. Bukalah hati anda untuk menerima dan berserah diri kepada Allah dan menerima segala syariat-Nya, menerima ajaran Nabi-Nya. Yakinilah bahwa seseorang (siapapun dia, kyai/ustadz) diterima dan ditolak perkataannya selain Rasulullah.

Rabu, 22 Desember 2010

DIALOG tentang BID’AH

DIALOG tentang BID’AH

Alkisah, konon di suatu tempat di negeri Tahlilan tepatnya di kampung Yasinan, terjadi diskusi antara seorang ustadz yang tak terlalu pintar dengan muridnya yang tak terlalu bodoh (tentu saja kisah ini tidak pernah benar-benar terjadi). Kita sebut saja diskusi ini antara Ustadz Gak Pinter (UGP) dengan Murid Tak Bodoh (MTB).

(Ucapan UGP ditulis dengan warna merah dan ucapan MTB dengan warna putih)


Wahai muridku yang penurut! Aku melihat akhir-akhir ini engkau tidak pernah lagi ikut kegiatan keagamaan seperti tahlilan, mujahadah, dan lain-lain, bahkan kau adzan juga tidak membaca shalawat. Ada apa sebenarnya? Apakah kamu ketularan paham orang-orang yang sok suci yang membenci ajaran para kyai? Ketahuilah bahwa bid’ah itu ada yang dholalah (sesat) dan ada yang hasanah (baik). Janganlah kamu ikut-ikutan orang-orang yang fanatik dan berpikiran dangkal itu! Mereka tidak tahu bahwa agama kita ini luas.

Duhai Ustadzku yang terhormat! Tetapi bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda bahwa tiap-tiap bid’ah adalah sesat sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir:

أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ ثُمَّ يَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَكَانَ إِذَا ذَكَرَ السَّاعَةَ احْمَرَّتْ وَجْنَتَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ نَذِيرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ ثُمَّ قَالَ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ أَوْ عَلَيَّ وَأَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ

Dari Jabir bin Abdullah r.a.: Rasulullah bersabda dalam khutbahnya dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan apa-apa yang memang Ia pemiliknya. Kemudian Rasulullah bersabda: ”Barangsiapa yang diberi hidayah Allah, tidak ada seorang pun yang akan menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah tidak ada seorang pun yang mampu memberinya hidayah. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diadakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka”. Kemudian Beliau bersabda: “Aku dibangkitkan dengan Hari Qiyamat seperti ini (dua jari yang dirapatkan)”. Dan adanya Rasulullah jika menyebutkan tentang Qiyamat, memerah pipinya, meninggi suaranya, dan mengeras amarahnya seakan-akan beliau seorang komandan tentara yang berkata: Musuh akan menyerangmu pagi-pagi dan petang. Kemudian beliau bersabda: “Barang siapa meninggalkan harta, maka bagi keluarganya, dan barang siapa meninggalkan hutang atau tanggungan, maka untukku atau atasku, dan aku adalah wali bagi orang-orang mu’min.” (Riwayat An-Nasa’i)

Wahai muridku, KULLU BID’ATIN DHALAALAH adalah sebuah kalimat yang masih bersifat umum dan setiap perkara yang umum ada pengecualiannya.

Sebagai orang yang mengerti ilmu agama, Ustadz pasti mengetahui bahwa kata KULLU yang diikuti oleh ism naqirah (obyek indefinitif) bukan ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya istitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata KULLU tersebut. Jika kalimat “kullu bid’atin dhalaalah” adalah kalimat umum dan bisa dikecualikan, maka tolong Ustadz sebutkan dalil dari Al-Qur’an atau hadits yang mengecualikan kalimat tersebut. Jika tidak ada dalil pengecualinya, maka kita harus sepakat untuk kembali kepada makna umum dari kalimat tersebut yang bermakna bahwa semua bid’ah TANPA TERKECUALI adalah sesat!!! Dan batallah pernyataan Ustadz yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.

Bodoh sekali kau, wahai muridku. Dunia ini penuh dengan bid’ah, lihatlah dirimu kemana-mana bawa handphone, naik sepeda motor, adzan pakai mic, masjid diberi kipas angin dan masih banyak lagi. Semua itu adalah bid’ah, yang penting adalah kita bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Tapi Pak Ustadz, bid’ah yang kita bicarakan adalah bid’ah yang dibicarakan dalam syariat agama. Dan memang itulah yang Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam maksudkan. Secara jelas dan gamblang hadits di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa yang dimaksud adalah tambahan atau sesuatu yang baru dalam agama, bukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita baca dari hadits Aisyah dalam riwayat Bukhari:

حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًاعَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ 
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan darinya, maka ia tertolak.”

Dari hadits di atas, kita pahami bahwa bid’ah adalah sesuatu yang hal yang diada-adakan dalam “FII AMRINAA” (DALAM URUSAN KAMI) yaitu urusan Allah dan Rasul-Nya yaitu dalam menentukan syariat agama, bukan urusan duniawi semata.
Dalam hadits yang lain dari riwayat Muslim akan kita pahami mana yang menjadi “URUSAN KITA”

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ كِلَاهُمَا عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ   أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُمْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ  (صحيح مسلم)  

Anas ra bercerita: Rasulullah pernah lewat di antara orang-orang yang sedang menyerbukkan kurma. Beliau bersabda: “Jika kalian tidak melakukan hal itu, niscaya baik”. Kemudian keluarlah buah-buah kurma yang tidak baik. Suatu ketika Rasulullah kembali lewat di antara mereka. “Ada apa dengan kurma kalian?,” tanya beliau. “Engkau mengatakan begini dan begini,” jawab mereka. Rasulullah bersabda ANTUM A’LAMU BI AMRI DUNYAKUM(Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian).

Di sini kita dapat bedakan “FII AMRINA” dalam hadits Aisyah berarti yang dimaksud adalah urusan Allah dan Rasul-Nya yaitu urusan agama dan “BI AMRI DUNYAKUM” dalam hadits Anas yang berarti urusan kita (umat Islam) dalam perkara duniawi. Jadi pemakaian handphone, sepeda motor, komputer, dan lain-lain adalah perkara duniawi yang kita diberi kebebasan untuk menentukan mana yang bermanfaat bagi kita dan mana yang bukan. Kita diberi kebebasan untuk menggunakannya selama tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan syariat dalam halal dan haramnya.
Demikian pula untuk adzan memakai mic, kipas angin di masjid, garis shof adalah alat-alat yang digunakan untuk membantu pelaksanaan ibadah itu sendiri bukan sesuatu yang ditambahkan ke dalam syariat dan menjadi bagian dari syariat agama.
Pemakaian mic untuk adzan, penulisan mushaf Al-Qur’an adalah termasuk ke dalam mashalih mursalah. Mashalih mursalah adalah perkara yang selaras dengan alur ketetapan syari’at yang tak ada dalil tertentu yang menunjukkan diterima atau tidaknya.
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan tentang mashalih mursalah:
PERTAMA. Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari’at. Dengan begitu mashalih mursalah ditetapkan dengan selalu memperhatikan kaidah atau dalil-dalil syari’at.
KEDUA. Para ulama banyak mengingatkan agar mashalih mursalah ini tidak digunakan pada perkara-perkara yang tidak bisa dijangkau maknanya oleh akal pikiran, karena mashalih mursalah ini lingkupnya pada perkara-perkara yang bisa dipahami oleh akal. Hal ini dimaksudkan agar tidak memberi peluang kepada akal untuk masuk dalam masalah peribadatan, dan perkaraperkara syari’at lainnya yang merupakan masalah peribadatan. Karena kebanyakan peribadatan, seperti wudhu, shalat, puasa pada waktu tertentu saja, dan yang semisalnya itu tidak bisa dipahami maknanya secara terperinci.
KETIGA. Mashalih mursalah diberlakukan untuk menjaga perkara yang sifatnya dharuri (yang sangat penting), serta menghilangkanpermasalahan berat yang biasanya muncul dalam perkara agama. Maksud mashalih mursalah untuk menjaga perkara yang sifatnya dharuri tersebut masuk dalam kaidah:
Sesuatu yang ketidakadaannya menjadikan tidak sempurnanya sebuah kewajiban maka ia hukumnya wajib.” Jadi mashalih mursalah itu termasuk perantara, bukan tujuan. Dan diberlakukannya mashalih mursalah adalah untuk mengurangi permasalahan yang berat, yaitu untuk mengurangi beban, bukan untuk menambahnya.
Apabila masalahnya seperti yang disebutkan di atas, maka dapat diketahui bahwa perbuatan bid’ah itu merupakan lawan dari mashalih mursalah. Karena objek dari mashalih mursalah itu adalah apa yang bisa dipahami maknanya secara rinci, sedangkan hakekat peribadatan, (yang menjadi obyek perbuatan bid’ah) itu tidaklah bisa dipahami maknanya secara rinci. Dan sebelumnya telah disebutkan bahwa adat kebiasaan apabila masuk ke dalamnya perbuatan bid’ah, maka masuknya (perbuatan bid’ah) itu adalah karena adanya bentuk peribadatan di dalamnya, dan bukan secara mutlak. Lagi pula, perbuatan bid’ah itu pada umumnya tidak selaras dengan maksud-maksud syari’at.
Perbuatan bid’ah hanya mempunyai salah satu dari dua kemungkinan berikut: bertentangan dengan syari’at, atau didiamkan (hukumnya).
Telah disebutkan di muka adanya ijma’ tertolaknya kedua kemungkinan di atas. Namun tidak lantas disimpulkan bahwa yang didiamkan (hukumnya) itu digolongkan ke dalam (perkara) yang diizinkan. Karena kalau begitu berarti menentang ijma’ yang menyebutkan tertolaknya. Karena hukum peribadatan itu tidak sama dengan hukum adat kebiasaan ketika didiamkan (hukumnya).
Seseorang tidak boleh gegabah dalam menetapkan suatu ibadah bila tidak ada dasarnya. Sebab ibadah tersebut ditentukan dengan dalil yang jelas. Berbeda halnya dengan adat kebiasaan. Dan perbedaan di antara keduanya adalah sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu bahwa pada umumnya akal berpedoman dengan adat kebiasaan; tidak berpedoman pada perkara-perkara yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Telah jelas bahwa mashalih mursalah dimaksudkan untuk menjaga perkara yang sifatnya dharuri dan hanya sebagai perantara saja atau dimaksudkan untuk meringankan (beban).
Oleh karena itu, tidak mungkin dengan alasan dibolehkannya mashalih mursalah tersebut kita membolehkan perbuatan bid’ah dan menambah-nambah perkara yang sunnah sifatnya. Karena perbuatan bid’ah termasuk bentuk ibadah. Juga, karena bid’ah terhitung menambah beban, yang bertentangan dengan prinsip mashalih mursalah yang meringankan beban.
Kesimpulan dari penjelasan di atas: Tidak ada keterkaitan antara pelaku bid’ah dengan mashalih mursalah, kecuali bagian yang didiamkan menurut kesepakatan ulama. Cukuplah anda berpegang dengan kesepakatan ulama tersebut. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.
Oleh karena itu, dapat kita pahami maksud Pembuat syari’at, bahwa Dia tidaklah memberikan kewenangan sedikitpun dalam perkara ibadah kepada akal para hamba-Nya. Maka tidak ada pilihan lagi bagi kita kecuali mengikuti batasan-batasan-Nya. Menambah-nambah dalam perkara ibadah adalah bid’ah; begitu pula menguranginya.


Sedangkan bentuk-bentuk ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin seperti tahlilan, mujahadah (menyanyikan asma’ul husna), shalawat dalam adzan, dan lain-lain adalah sesuatu yang jelas-jelas dilarang berdasarkan dalil-dalil yang kita ketahui bersama. Ibadah-ibadah itu ditolak dan pelakunya diancam dengan neraka sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir riwayat An-Nasa’i.
Saya yakin kita sebagai sesama orang yang berakal akan mampu memahami perkara ini dengan baik dan dapat mengambil kesimpulan mana pendapat yang benar dan mana pendapat yang salah.

Duhai muridku yang bodoh. Jika benar apa yang kamu katakan, maka Umar tidak akan mengatakan SEBAIK-BAIK BID’AH ADALAH INI. Ucapan Umar ini jelas-jelas menyatakan bahwa bid’ah ada yang baik. Jadi, jangan sok tahu ya!

Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya maksud dari perkataan Umar نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik bid’ah adalah ini) adalah dengan mempelajari riwayat-riwayat yang melatarbelakangi ungkapan tersebut.

وَعَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

Dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari, dia berkata: Pada satu malam di bulan Ramadan aku keluar bersama dengan ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh ke masjid. Didapati orang ramai sholat terpisah. Ada yang sholat sendirian, ada pula yang sholat dan sekumpulan mengikutinya. ‘Umar berkata: “Jika aku kumpulkan mereka pada seorang imam adalah lebih baik.” Kemudian beliau melaksanakannya maka dikumpulkanlah mereka dengan (diimami oleh) Ubai bin Ka‘ab. Kemudian aku keluar pada malam yang lain, orang ramai mengerjakan sholat dengan imam mereka (Ubai bin Ka‘ab). Berkata ‘Umar:نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ  (SEBAIK-BAIK BID‘AH ADALAH PERKARA INI), sedangkan yang mereka tidur (solat pada akhir malam) lebih dari apa yang mereka bangun (awal malam)”. (Shahih al-Bukhari)

Hadits di atas tidak bisa diartikan bahwa Shalat Tarawih berjamaah adalah bid’ah yang dibuat oleh Umar, karena sebagaimana kita ketahui bahwa Rasulullah telah melaksanakannya pada bulan Ramadhan dalam beberapa malam. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu 'anha:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada suatu pertengahan malam. Baginda sholat di masjid (Masjid Nabi). Beberapa orang mengikuti sholat baginda (menjadi makmum). Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenai hal itu. Maka berkumpullah manusia lebih banyak lagi (pada malam kedua). Baginda sholat dan mereka ikut sholat bersama. Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenai hal tersebut. Maka bertambah ramai ahli masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar sholat dan mereka ikut sholat bersama. Maka ketika malam keempat, masjid menjadi tidak muat dengan ahlinya (makmum). (Baginda tidak keluar) hingga waktu Sholat Shubuh tiba. Selesai Sholat Shubuh, beliau menghadap orang banyak (makmum), bersyahadat seraya bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya bukan aku tidak tahu penantian kalian (di masjid pada tadi malam) tetapi aku takut jika difardukan/diwajibkan (Sholat Tarawih) kepada kalian lalu kalian tidak mampu.” Hal ini berlaku terus menerus hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat. (HR. Bukhari)

Hadits ini dengan jelas menunjukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang pertama memulai dan mengerjakan sholat tarawih secara berjamaah dengan satu imam. Walau beliau tidak melakukannya secara terus menerus, bukan karena perbuatan ini yang salah tetapi karena beliau bimbang dan takut kalau hal tersebut menjadi satu ibadah yang diwajibkan (dianggap wajib). Maka tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat, kebimbangan ini tidak ada lagi, maka dengan itu ‘Umar meneruskan kembali Sholat Tarawih secara berjamaah. Dari sini diketahui bahwa sesunguhnya ‘Umar bin al-Khattab bukanlah orang yang pertama memulai dan mengamalkan sholat tarawih secara berjamaah.

Lalu kenapakah ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh mengatakan hal tersebut sebagai satu bid‘ah?

Penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah:
Dia menamakannya bid‘ah hanya pada dzahirnya saja karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggalkannya dan sepakat pula hal tersebut tidak dikerjakan pada zaman Abu Bakr radhiallahu 'anh. Maka hal ini sebenarnya: bukanlah bid‘ah pada makna (syar'i). Siapa yang menamakan bid‘ah disebabkan hal ini, maka tiada perlu adanya pembelaaan dalam meletakkan nama. Justru itu tidak boleh baginya berdalil dengannya untuk menunjukkan keharusan membuat bid‘ah.

Jelaslah ucapan ‘Umar bukanlah merujuk kepada bid‘ah yang dilarang oleh syar'iat tetapi merujuk kepada bid‘ah yang dimaksudkan dari segi bahasa atau keadaan. Ini karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan Sholat Tarawih secara berjamaah lalu berhenti disebabkan faktor penghalang yang dinyatakan tadi. Apabila faktor penghalang telah hilang, maka ‘Umar menghidupkannya semula. Justeru itu beliau menamakannya bid‘ah. Perkataan bid‘ah yang digunakan oleh ‘Umar radhiallahu 'anh hanya merujuk pada segi bahasa, tidak pada segi syara’. Dari segi syarak, ia adalah sunnah karena merupakan sesuatu yang pernah berlaku sebelumnya pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Akan tetapi Rasulullah sendiri telah menganjurkan umatnya untuk membuat sunnah yang baik bagi umatnya dan ia akan mendapatkan pahala atas sunnah tersebut baik dari amalnya sendiri maupun dari amal orang yang mengikutinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Barang siapa merintis suatu amalan yang baik, maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu sunnah (amalan) yang jelek, maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”

Ini artinya kita boleh membuat suatu amalan yang baik agar diikuti oleh orang lain dan kita akan mendapatkan pahala dari amalan orang yang mengikuti kita. Jadi jangan suka menghina perbuatan para kyai yang membuat amalan-amalan yang baik itu! Mengerti??????

Bapak ustadz yang saya hormati, untuk memahami suatu hadits tidak bisa begitu caranya, Anda mencomot ungkapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sepotong-sepotong kemudian memberi makna yang menyimpang dari makna sebenarnya. Anda harus melihat apa yang melatarbelakangi ungkapan tersebut. Apa sababul wurud hadits itu sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan ungkapan tersebut? Hadits ini isi lengkapnya kurang lebih begini:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى الْعَنَزِيُّ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ الْمُنْذِرِ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ قَالَ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ )إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا(}
وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ  { اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ}
تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ   (صحيح مسلم)

Dari Jarir bin ‘Abdullah ra. : Kami pernah bersama Nabi di suatu siang. Tiba-tiba datanglah satu kaum dalam keadaan tidak mengenakan alas kaki dan pakaian sambil berselimut dan menyandang pedang. Kebanyakan mereka adalah Bani Mudhar; bahkan semuanya dari Bani Mudhar. Berubahlah raut muka Rasulullah  manakala  melihat kefakiran mereka. Lalu beliau masuk ke rumah, (tak berapa lama) kemudian keluar (lagi), lalu memerintahkan Bilal untuk beradzan dan beriqamah, lalu shalat, kemudian berkhutbah. Dalam khutbahnya beliau berkata:
Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa.” (Q.s. An-Nisa’: 1)
Dan satu ayat dari surah Al-Hasyr: “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (Q.s. Al-Hasyr: 18)
(Lalu Rasulullah  berkata):
“(Semoga ada) seorang yang mau bershadaqah dengan dinarnya, dirhamnya, bajunya, dengan setakar gandumnya, kurmanya, –sampai mengatakan– meski dengan separuh buah kurma.”
Lalu ia (Jarir) berkata: Maka datang kepada beliau seorang dari kaum Anshar dengan membawa sebuah karung yang (padat berisi). Hampir-hampir tangannya tidak sanggup mengangkat karung tersebut; bahkan benar-benar tidak sanggup. Ia (Jarir) berkata: Kemudian orang-orang pun mengikuti tindakan orang tersebut sampai aku melihat ada dua tumpukan makanan dan pakaian. Aku melihat wajah Rasulullah bersinar keemasan.
Lalu Rasulullah  berkata:
Barang siapa merintis suatu amalan yang baik, maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu sunnah (amalan) yang jelek, maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim)

Dengan isi hadits yang lengkap ini kita bisa pahami bahwa yang dimaksud Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan “sunnah yang baik” adalah shadaqah, bukan bid’ah yang seperti ustadz pahami. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa shadaqah memang menjadi ajaran agama Islam yang telah disyaraiatkan, bukan sesuatu yang baru yang dibuat oleh sahabat Anshar yang membawa karung yang padat berisi shadaqah tersebut. Jadi yang dimaksudkan dengan “mengadakan sunnah” di sini ialah melakukan (memulaikan) amal, bukan melakukan (memulaikan) tasyri’ (syariat baru). Ini karena tasyri’ hanya boleh dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga hadits inipun tidak bisa dijadikan hujah oleh pembuat bid’ah untuk melegitimasi bid’ah yang dilakukan dengan alasan bahwa ia membuat sunnah yang baik. Sebagaimana di awal tadi kita telah pahami bahwa tiap-tiap bid’ah adalah sesat.

Tapi pada kenyataannya para sahabat sendiri yang dipimpin oleh para Khulafaur Rasyidin juga telah membuat bid’ah, di antaranya adalah mengumpulkan Al-Qur’an untuk dijadikan satu mushaf, suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Bukankah ini juga membuktikan bahwa para sahabat yang sebenarnya paling mengerti tentang agama juga tidak mengingkari dibolehkannya bid’ah?

Pak ustadz yang baik, pengkompilasian Al-Qur’an untuk dijadikan mushaf tidak bisa dikatakan bid’ah, karena penulisannya sendiri telah diperintahkan oleh Rasulullah. Rasulullah mempunyai sekretaris yang bertugas menulis ayat-ayat Al-Qur’an yang turun dan memberikan petunjuk dimana letak ayat-ayat tersebut ditempatkan. Lalu kenapa kok tidak dibukukan pada masa Rasulullah?
Coba sekarang Pak ustadz berpikir sejenak, seandainya Pak ustadz adalah seorang penerbit buku atau tukang foto copi. Bab I, II, IV, dan V telah selesai dicetak, tetapi Bab III belum jadi, apakah Pak ustadz akan segera menjilid buku tersebut dengan baik dan rapi? Saya kira kita sebagai orang yang berakal akan tahu bahwa sebuah buku akan bisa dijilid menjadi satu buah buku yang baik jika seluruh isinya telah selesai dicetak, tidak mungkin sebuah buku dijilid dengan rapi padahal Bab III belum selesai dibuat.
Demikian juga dengan Al-Qur’an, tidak mungkin Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena wahyu masih terus turun, jika dipaksakan untuk dikumpulkan dalam satu mushaf, maka akan sia-sia karena setelah itu akan turun lagi ayat yang tempatnya di tengah-tengah mushaf yang berarti akan merusak susunan mushaf tersebut.
Saya tambahkan sedikit, bahwa setiap orang yang mengaku sebagai muslim harus tunduk patuh pada ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Sebagaimana kita ketahui Abu Bakar telah memerangi orang yang tidak membayar zakat, karena memang zakat adalah bagian penting dari kehidupan umat Islam yang harus ditegakkan penunaiannya walaupun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melakukannya. Ajaran Islam tidak akan bisa disebut rahmat bagi seluruh alam tanpa adanya penunaian zakat dan pembagiannya kepada yang berhak. Berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin ini ditekankan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam demi menjaga kemurnian Islam dan persatuan umat seperti yang kita ketahui dari hadits Abu Najih ’Irbadh bin Sariyah.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالَا أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ  { وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ }
فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Dari ‘Abdur Rahman bin ‘Amr As-Sulami dan Hujr bin Hujr, mereka mendatangi ’Irbadh bin Sariyah (orang yang kepadanya turun ayat At-Taubah: 92). Maka kami mengucapkan salam dan kami katakan: “Kami mendatangi kau untuk mengunjungi, menjenguk, dan menimba ilmu darimu”. Maka ‘Irbadh berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami pada suatu hari kemudian berbalik kepada kami dan menasihati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan, karena itu berilah kami nasihat”. Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap menjaga ketakwaan kepada Alloh ‘azza wa jalla, tunduk taat (kepada pemimpin) meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena sesungguhnya tiap-tiap tambahan (dalam agama) adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud)

Tapi muridku, kaupun harus setuju jika suatu amal dilakukan dengan ikhlas mengharap ridha Allah, pasti juga akan mendapatkan pahala. Bukankah Rasulullah bersabda “Sesungguhnya amal tergantung niatnya”? Jadi jika kita melakukan amalan yasinan, tahlilan, mujahadah, tawassul dan lain-lain dan kita niatkan hanya untukmencari ridha Allah, maka kita pasti juga akan mendapat pahala. Apa salahnya, lha wong yang dibaca adalah Al-Qur’an, dzikir, dan asmaul husna?

Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi satu sama lain; pertama hadits yang amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang batin, yaitu hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleh niat." Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung oleh hadits ini, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."
Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus dipenuhi dua hal ini:
1. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT, dan
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang zaahid 'orang yang zuhud' (para zaahid generasi pertama adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, "... supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.... "(al-Mulk:2); Amal ibadah apakah yang paling baik? Ia menjawab, "Yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar." Ia kembali ditanya, "Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Ia menjawab, "Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan 'ikhlas' adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan 'benar' adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah."
Keharusan amal ibadah hanya ditujukan untuk Allah SWT, yaitu sebagaimana dideskripsikan oleh hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleb niat." Dan, keharusan amal ibadah sesuai dengan tuntunan Sunnah adalah seperti dideskripsikan oleh hadits, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kami (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."

Aku heran, kenapa sih kamu begitu benci dengan yang namanya bid’ah? Apa salahnya orang yang melakukan itu? Apa kejelekannya?

Saya kira akan lebih tepat untuk menjawab pertanyaan ustadz ini dengan jawaban yang diberikan oleh ‘ulama, maksud saya yang benar-benar “ulama”. Berikut ini sedikit kutipan dari Dr. Yusuf Qardhawi tentang alasan-alasan betapa buruknya bid’ah sehingga Islam bersikap keras dalam masalah tersebut:

1.      Pembuat Bid'ah Mengangkat Dirinya Sebagai Pembuat Syariat Baru Dan Sekutu Bagi Allah SWT

Orang yang membuat bid’ah telah menganggap dirinya berhak untuk mensyariatkan tata cara ibadah, padahal itu adalah hak prerogatif Allah. Hak membuat syariat adalah mi1ik Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?...." (asy-Syuura: 21)
Membuat syariat bukanlah masalah sepele, hal ini dapat menyebabkan pelakunya mengambil hak Allah yang tanpa ia sadari ia sama halnya dengan mengaku sebagai Tuhan. Allah berfirman: "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (at-Taubah: 31)
Al-Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia membaca ayat "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, "(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu."
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri. Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

2.      Pembuat Bid'ah Memandang Agama Tidak Lengkap Dan Bertujuan Melengkapinya

Orang yang membuat bid'ah seakan-akan menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah SWT telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Dia berfirman, ",...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu...," (al-Maa'idah: 3)
Oleh karena itu, Imam Malik berkata, "Siapa yang telah membuat praktek bid'ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena, Allah SWT berfirman, 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.' Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu."
Membuat bid'ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah SWT berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (al-Maa'idah: 67)
Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya. Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid'ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah berbuat khianat.

3.      Praktek Bid'ah Mempersulit Agama Dan Menghilangkan Sifat Kemudahannya

Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat mudah dan Allah SWT juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah “agama yang orisinal dan mudah dijalankan”, hanif “orisinal” dalam akidah, dan samhah “mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek ibadah”. Firman Allah: "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...." (al-Baqarah:185).
Juga dalam ayat lainnya, ",...dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,..." (al-Hajj: 78). Juga dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang membuat kesulitan. "
Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid'ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan.
Misalnya, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya," (al-Ahzab: 56)
Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, "Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia."
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu.

4.      Bid'ah Dalam Agama Mematikan Sunnah

Ada ungkapan yang diriwayatkan dari kalangan salaf, secara mauquf dan marfu', "Setiap kali suatu kaum menghidupkan bid'ah maka saat itu pula mereka mematikan sunnah dengan kadar yang setara." Ini adalah suatu keniscayaan (kepastian), sesuai dengan hukum alam dan hukum sosial. Ada orang yang berkata, "Setiap kali aku melihat suatu sikap berlebihan dalam satu segi maka saat itu pula aku dapati adanya suatu hak yang ditelantarkan." Jika Anda menjumpai suatu sikap berlebih-lebihan pada satu segi, Anda pasti akan mendapati adanya sikap mengurang-ngurangi pada segi lain. Jika seseorang mencurahkan energinya untuk melaksanakan perbuatan bid'ah, niscaya energinya untuk menjalankan sunnah menjadi berkurang karena kemampuan manusia terbatas.

5.      Bid'ah Dalam Agama Membuat Manusia Tidak Kreatif Dalam Urusan-Urusan Keduniaan

Dari segi lain, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, jika manusia mencurahkan energi dan perhatiannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan bid'ah yang ditambahkan ke dalam agama, niscaya mereka tidak lagi mempunyai energi untuk berusaha di dunia dan berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Bid'ah, seperti telah kami sinyalir sebelumnya, adalah "jalan beragama yang dibuat-buat". Pada dasarnya, manusia harus mengembangkan kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun karena manusia telah mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam urusan-urusan agama maka ia tidak lagi dapat berkreasi dalam urusan-urusan duniawi. Oleh karena itu, generasi Islam yang pertama banyak menelurkan kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan memelopori banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, mereka dapat membangun peradaban yang besar dan tangguh yang menyatukan antara ilmu pengetahuan dan keimanan, antara agama dan dunia. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada masa itu, seperti ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, dan sebagainya menjadi ilmu-ilmu yang dipelajari di seluruh dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum muslimin.
Yang aku ingin tekankan adalah, kaum muslimin pada masa keemasan Islam, dalam bidang agama, mereka semata berpegang pada nash dan Sunnah, sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan, mereka berkreasi, menciptakan hal-hal baru, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penemuan yang telah ada. Sementara, pada masa kemunduran Islam, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang banyak sekali menciptakan hal-hal baru dalam bidang agama, sementara beku dan statis dalam bidang-bidang keduniaan.

6.      Bid'ah Dalam Agama Memecah Belah Dan Menghancurkan Persatuan Umat

Yang keenam adalah berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan umat sehingga membuat mereka menjadi satu barisan yang kokoh di bawah bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Karena, Sunnah hanya satu, sedangkan bid'ah tidak terbilang banyaknya. Kebenaran hanya satu, sedangkan kebatilan beragam warna dan bentuknya. Jalan Allah SWT hanya satu, sedangkan jalan-jalan setan amat banyak. Dalam hadits riwayat Ibnu Mas'ud r.a., ia berkata, "Suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membuat garis lurus di hadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan Allah”. Setelah itu, beliau menggaris beberapa garis di samping kiri dan samping kanan garis yang pertama tadi, dan bersabda, “Jalan-jalan ini (adalah selain jalan Allah), masing-masing didukung oleh setan yang menggoda manusia untuk mengikuti jalan itu”. Selanjutnya, beliau membaca ayat, "Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia...." (al-An'am: 153)
Oleh karena itu, saat umat secara konsekuen mengikuti Sunnah maka saat itu mereka bersatu padu. Sementara, saat timbul beragam sekte dan mazhab maka umat terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan. Bahkan, masing-masing golongan itu pada gilirannya kembali terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Dan, masing-masing golongan dan kelompok itu meyakini bahwa mereka sajalah penganut agama Islam yang sebenarnya. Selanjutnya, masing-masing golongan itu menciptakan bid'ah tersendiri yang demikian banyak.
Sebagian bid'ah itu dalam bidang akidah hingga kadang-kadang ada yang sampai kepada kekafiran, seperti golongan yang mengingkari ilmu Allah SWT dan berkata, "Hal ini adalah sesuatu yang baru sama sekali." Maksud ucapan mereka itu adalah Allah SWT tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka itulah yang dikecam dengan keras oleh Ibnu Umar dan ia pemah berkata tentang mereka, “Sekalipun mereka melakukan amal kebaikan sebesar Gunung Uhud, (namun karena perkataan dan sikap mereka tadi) niscaya Allah SWT tidak menerima amal perbuatan mereka itu”.
Juga ada kelompok yang menganut antropomorfisme yang menyerupakan wujud Allah SWT dengan makhluk-Nya, mereka terkenal sebagai kelompok Musyabbihah dan Mujassimah. Di antara mereka ada yang mengingkari kodrat Allah SWT, meskipun mereka tidak mengingkari ilmu-Nya. Di antara mereka ada yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka, seperti kalangan Khawarij, meskipun ketekunan ibadah mereka amat mengagumkan dan meskipun dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah diungkapkan tentang mereka, "Dan kalian ada yang melihat shalatnya lebih sederhana dari shalat mereka, qiyamullailnya lebih sederhana dari qiyamullail mereka, dan bacaannya lebih sederhana dari bacaan mereka."
Setelah itu, timbul kalangan tasawuf yang sebagian mereka mengungkapkan hal-hal yang sama sekali tidak dilandasi syariat, seperti berpedoman hanya kepada dzauq 'rasa' dan intuisi, bukan kepada syariat. Menurut mereka, orang tidak perlu berpegang pada apa yang difirmankan oleh Rabbnya, namun yang terpenting adalah berpedoman pada apa yang dikatakan oleh hatinya. Salah seorang dari mereka dengan bangga berkata, "Hatiku berkata kepadaku berdasarkan informasi dari Tuhanku." Karena, ia mengambil informasi langsung dari "atas". Oleh karena itu, saat dikatakan kepada salah seorang dari mereka, "Marilah kita membaca kitab Mushannaf Abdurrazzaq," ia menjawab, "Apa manfaatnya karya Abdurrazzaq itu bagi orang yang mengambil ilmunya langsung dari sang Khaliq?" Maksudnya, ia mengambil ilmunya langsung dari Allah SWT, tanpa melalui perantara!
Dari mereka ada yang berkata, "Kalian mengambil ilmu kalian dari orang yang telah mati yang mendapatkannya dari orang yang telah mati pula, sementara kami mengambil ilmu kami dari Zat Yang Maha Hidup, Yang tidak mati!" Malik dari Nafi dari Ibnu Umar, mereka semua telah mati; mata rantai riwayat emas ini (seperti dinamakan oleh para ahli hadits) bagi kalangan tasawuf dipandang sebagi mata rantai karatan yang tidak bermanfaat sama sekali.
Di antara istilah yang dikembangkan oleh mereka adalah hakikat dan syariat. Kalangan ahli syariat melihat dan memperhatikan sisi yang zahir, sedangkan kalangan ahli hakikat melihat dan memperhatikan sisi batin. Oleh karena itu, mereka berkata, "Orang yang melihat manusia dengan mata syariat, niscaya ia akan membenci mereka, sedangkan orang yang melihat manusia dengan mata hakikat, niscaya ia akan memberikan uzur (sikap memaklumi) kepada mereka."
Orang yang berzina, bermabuk-mabukan, pembuat kezaliman, dan kediktatoran, yang menyiksa manusia dan membunuh ratusan, bahkan ribuan orang, serta yang menghancurkan kampung-kampung dan kota-kota; mereka itu, jika Anda lihat mereka dengan mata syariat niscaya Anda akan membenci mereka karena syariat membenci kemungkaran, kezaliman, dan para pelakunya. Namun, jika Anda memandang mereka dengan mata hakikat, niscaya Anda akan memberikan uzur kepada mereka. Karena, meskipun mereka tidak menjalankan perintah Allah SWT, namun pada hakikatnya mereka menjalankan iradah 'kehendak' Allah SWT karena Allah SWT-lah yang menghendaki semua hal itu. Allah SWT menggerakkan manusia sesuai dengan kehendak-Nya, lantas apakah Anda ingin turut campur dalam kekuasaan Allah SWT? Biarkanlah kekuasaan berjalan di tangan raja, sementara manusia yang lain, biarkanlah mereka hidup sesuai dengan kehendak sang Khalik.
Dengan begitu, tumbuh suburlah sikap pasif dalam menghadapi kerusakan dan penindasan, demikian juga dalam dunia pendidikan. Hingga dalam bidang yang terakhir ini, tasawuf mencabut kepribadian manusia, yaitu seperti postulat tasawuf "sikap seorang murid di hadapan syekhnya adalah seperti sikap mayat di tangan orang yang memandikannya", Siapa yang bertanya kepada syekhnya: "Mengapa?" Maka, sang murid itu tidak akan 'sampai' ke tujuannya, dan seterusnya.
Kemudian berapa banyak tarekat yang telah timbul di kolong langit ini? Jika umat Islam kita biarkan mengikuti dan menjalankan praktek bid'ah, niscaya mereka tidak akan bersatu dalam satu shaf. Umat Islam hanya dapat bersatu jika mereka berdiri di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mengikuti kitab Allah yang muhkam dan Sunnah Rasul-Nya. Setelah mereka bersikap seperti itu, tidak menjadi masalah jika mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu' (cabang). Perbedaan pendapat dalam bidang furu' ini tidak merusak ukhuwah, juga tidak menghalangi persatuan Islam. Para sahabat sendiri banyak berbeda pendapat dalam masalah furu', namun mereka tetap bersaudara, dan tetap sebagai kaum muslimin.

Saya kira apa yang disampaikan oleh Syaikh Qardhawi itu cukup untuk membuat kita takut terjerumus ke dalam bid’ah. Bukan begitu Pak ustadz???????????????????

Terserah apa katamu, wahai muridku! Tapi aku tetap akan menuruti petunjuk para ‘ulama, karena mereka adalah pewaris-pewaris para nabi yang pasti dijamin kebenaran fatwa-fatwanya.

Duhai Ustadzku, apakah demikian sikap seorang muslim, yang ketika pendapat seseorang bertentangan dengan pendapat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ia meninggalkan pendapat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mengikuti pendapat orang tersebut walaupun orang tersebut disebut sebagai ‘alim atau ‘ulama atau kyai? Padahal kita tahu bahwa Rasulullah-lah yang ma’shum bukan para kyai. Jika memang bid’ah-bid’ah yang Ustadz lakukan itu diajarkan oleh para ‘ulama, coba sebutkan nama-nama ‘ulama itu! Apakah di dalam daftar itu ada Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah? Apakah golongan ustadz yang mengaku sebagai pengikut madzhab Syafi’i itu juga yakin bahwa Imam Syafi’i aktif melakukan tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya? Ataukah ini hanyalah ajaran orang yang mengaku sebagai ‘ulama, yang pada kenyataan ilmunya tidak seberapa?
Para ulama mewarisi ilmu agama yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, untuk diamalkan dan diajarkan kepada umat, bukan untuk DITAMBAH DAN DIKURANGI. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر ٍ )ابو داود(
Dari Katsir bin Qais, ia berkata: Suatu ketika aku sedang duduk bersama Abu Darda' di Masjid Dimasyq. Datang seorang laki-laki dan berkata: “Wahai Abu Darda', sesungguhnya aku datang kepadamu dari Madinah untuk belajar hadits, maka sampaikanlah kepadaku apa yang telah sampai kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam”. Maka Abu Darda' r.a., berkata: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari suatu ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkan untuknya suatu jalan untuk menuju syurga, dan sesungguhnya para malaikat itu niscayalah meletakkan sayap-sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu itu, karena ridha sekali dengan apa yang dilakukan oleh orang itu. Sesungguhnya orang ‘alim itu niscayalah dimohonkan pengampunan untuknya oleh semua penghuni di langit dan penghuni-penghuni di bumi, sampai ikan-ikan pun yang ada di dalam air. Keutamaan orang ‘alim atas orang yang beribadat itu adalah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang yang lain. SESUNGGUHNYA PARA ULAMA ADALAH PEWARIS PARA NABI, SESUNGGUHNYA PARA NABI ITU TIDAK MEWARISKAN DINAR ATAUPUN DIRHAM, HANYASANYA MEREKA ITU MEWARISKAN ILMU. MAKA BARANGSIAPA MENGAMBIL ILMU ITU, MAKA IA TELAH MENGAMBIL BAGIAN YANG BANYAK SEKALI." (Riwayat Abu Dawud)

BERANI SEKALI KAU MENYEBUT PARA ‘ULAMA SEBAGAI ORANG YANG ILMUNYA TIDAK SEBERAPA, MEMANGNYA KAMU PUNYA ILMU APA.  KAMU SENDIRI TIDAK BISA BAHASA ARAB, TIDAK MENGUASAI NAHWU SHARAF, BALAGHAH, DAN MANTIQ, TAPI BERANI MENGHINA AJARAN PARA ULAMA.  KAMU CUMA ANAK KECIL YANG BELUM PERNAH MEMPELAJARI KITAB-KITAB KUNING SEPERTI SAFINATUN NAJAH, DURRATUN NASHIHIN, MANAQIB ABDUL QODIR JAILANI. NGACA DONG!!!! 

Lho pak Ustadz kok malah marah, saya kan cuma minta Ustadz menyebutkan nama ‘ulama yang mengajarkan bid’ah-bid’ah itu, yang katanya adalah bid’ah hasanah. Gitu aja kok repot!
Ajaran agama kita telah sempurna dan sesuatu yang sempurna tidak perlu ditambah dan juga tidak boleh dikurangi. Itu saja yang ingin saya sampaikan dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kita pasti selamat sebagaimana wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits Abu Hurairah:

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيْهُ ، أَنْبَأَ مُحَمَّدٌ بْنُ عِيْسَى بْنِ السَّكَنِ الْوَاسِطِي، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ عَمْرٍٍو الْضَبِي ، حَدَّثَنَا صَالِحٌ بْنُ مُوسَى الطَّلَحِي ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ رَفِيْعٍ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي ، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرَدَا عَلَيَّ الْحَوْضِ

Dari Abu Hurairah r.a:
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu dua perkara yang kamu tidak akan tersesat setelah (berpegang pada) keduanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan terpisah sampai menemuiku di telaga”. (HR. Hakim)

DASAR ANAK TAK TAHU SOPAN SANTUN, SOMBONG, INGIN MENANG SENDIRI, TAK MENGHORMATI PENDAPAT ORANG LAIN.  MENDENGAR KATA-KATAMU TADI TELAH MEMBUAT KEPALAKU MULES DAN PERUTKU PUSING. DASAR ORANG ANEH!!!!!! 

Yang memang demikianlah Pak ustadz keadaan umat Islam akhir jaman; asing, aneh, norak, gak umum. Persis seperti sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ جَمِيعًا عَنْ مَرْوَانَ الْفَزَارِيِّ قَالَ ابْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda, "Islam mulai dengan asing (aneh) dan akan kembali asing (aneh) seperti semula, maka beruntunglah bagi orang-orang yang (dianggap) aneh." (HR. Muslim)

Saya mohon doa restunya agar selalu menjadi orang asing, orang aneh. Sungguh betapa bahagianya saya jika saya asing dan aneh di hadapan manusia tetapi mulia di hadapan Allah.
Allahu musta’an.
Ijinkanlah saya menutup dialog kita kali ini dengan satu ayat:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS. An Nisa’, 65 ).
Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.



Demikianlah transkrip diskusi bertema bid’ah antara Ustadz Gak Pintar (UGP) dengan Murid Tak Bodoh (MTB). Namun sebagaimana yang kita prediksikan pada awalnya bahwa mereka tetap pada jalan mereka masing-masing. UGP tetap pada pendiriannya untuk bertaqlid kepada para “’ulama” yang mengajarinya bid’ah hasanah. Dan MTB tetap berusaha memahami ajaran agamanya sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan mencoba menegakkan sunnah Nabi sesuai dengan kemampuannya walaupun banyak rintangan dan cobaan.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ


Barangsiapa yang diberi hidayah Allah, tidak ada seorang pun yang akan menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah tidak ada seorang pun yang mampu memberinya hidayah.


(posting ini hanya untuk menambah wawasan bukan untuk rujukan utama, silahkan download buku-buku di "download yukk!!!!!")
semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.